Doa Ketika Sempit Rizki

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ وَرَحْمَتِكَ، فَإِنَّهُ لاَ يَمْلِكُهَا إِلاَّ أَنْتَ

Allaahumma innii as-aluka min fadhlika wa rohmatik, fa-innahu laa yamlikuhaa illaa anta.

Ya Allah, aku memohon kepada-Mu akan sebagian karunia-Mu dan rahmat-Mu, karena sesungguhnya tidak ada yang memilikinya kecuali Engkau.

HR. Abu Nu’aim dalam al Hilyah dan Thabrani dalam al Mu’jam al Kabir. Al Haitsami mengatakan, “Diriwayatkan oleh Thabrani dan para perawinya adalah perawi kitab shahih selain Muhammad bin Ziyad al Burjumi dan dia adalah perawi yang tsiqoh.” Al Albani dalam Silsilah Shahihah no 1543 mengatakan, “Sanadnya menurutku shahih.” Dalam Shahih al Jami’ no 1278 al albani juga mengatakan “shahih.” .

Dari Murrah dari Abdullah bin Mas’ud, “Nabi mendapatkan tamu. Beliau lantas mengutus seseorang untuk menemui para isteri beliau, barangkali ada yang punya makanan, namun ternyata tidak ada satu pun isteri beliau yang punya makanan yang bisa disuguhkan kepada tamu Nabi. Nabi lantas berdoa: (doa di atas). Tak lama setelah itu beliau mendapatkan daging kambing panggang. Nabi lantas berkomentar, ‘Ini adalah sebagian dari karunia-Nya. Kami sedang menunggu rahmat-Nya.'” .

Hadits di atas diberi judul bab oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al Mushannaf sebagai berikut: “Manakala seorang itu kelaparan atau mengalami kesempitan rizki bacaan doa seperti apa yang mesti dia ucapkan”.

Sumber: http://pengusahamuslim.com/doa-sempit-rizki-1674

Dosa Durhaka pada Orang Tua

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوْبَةَ مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ مِنَ الْبَغِى وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ .

”Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan balasannya bagi para pelakunya [di dunia ini] -berikut dosa yang disimpan untuknya [diakhirat]- daripada perbuatan melampaui batas (kezhaliman) dan memutus silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat).” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Di antara Bentuk Durhaka pada Orang Tua

’Abdullah bin ’Umar radhiyallahu ’anhuma berkata,

إبكاء الوالدين من العقوق

”Membuat orang tua menangis termasuk bentuk durhaka pada orang tua.”

Mujahid mengatakan,

لا ينبغي للولد أن يدفع يد والده إذا ضربه، ومن شد النظر إلى والديه لم يبرهما، ومن أدخل عليهما ما يحزنهما فقد عقهما .

“Tidak sepantasnya seorang anak menahan tangan kedua orang tuanya yang ingin memukulnya. Begitu juga tidak termasuk sikap berbakti adalah seorang anak memandang kedua orang tuanya dengan pandangan yang tajam. Barangsiapa yang membuat kedua orang tuanya sedih, berarti dia telah mendurhakai keduanya.”

Ka’ab Al Ahbar pernah ditanyakan mengenai perkara yang termasuk bentuk durhaka pada orang tua, beliau mengatakan,

إذا أمرك والدك بشيء فلم تطعهما فقد عققتهما العقوق كله

“Apabila orang tuamu memerintahkanmu dalam suatu perkara (selama bukan dalam maksiat, pen) namun engkau tidak mentaatinya, berarti engkau telah melakukan berbagai macam kedurhakaan terhadap keduanya.” (Birrul Walidain, hal. 8, Ibnul Jauziy) .

Sumber :  @Line Teladan Rasulullah

Jangan protes Qadarullah

Imam Ibnu Qudâmah al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Di antara sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah Dia Maha (kuasa) berbuat apa yang dikehendaki-Nya, tidak ada sesuatu pun yang terjadi kecuali dengan kehendak-Nya dan tidak ada yang luput dari kehendak-Nya. Tidak ada sesuatu pun di alam ini yang lepas dari takdir-Nya dan semuanya terjadi dengan pengaturan-Nya. Oleh sebab itu, tidak ada seorang pun yang (mampu) melepaskan diri dari takdir yang ditentukan-Nya dan melampaui ketentuan yang telah dituliskan-Nya dalam Lauhul Mahfuzh. Dia Azza wa Jalla Maha menghendaki semua yang dilakukan oleh seluruh makhluk di alam semesta. Seandainya Dia Azza wa Jalla berkehendak menjaga mereka semua, niscaya mereka tidak akan melanggar perintah-Nya, dan seandainya Dia Azza wa Jalla menghendaki mereka semua menaati-Nya, niscaya mereka akan menaati-Nya. Allâh lah yang menciptakan semua makhluk beserta semua perbuatan mereka, menakdirkan (menetapkan) rezki dan ajal mereka. Allâh lah yang memberikan hidayah (petunjuk) kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah[3]-Nya.”[Lum’atul I’tiqâd hlm. 114]

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah berkata, “al-Qadar adalah apa yang Allâh Azza wa Jalla takdirkan secara azali (terdahulu) yang berkaitan dengan apa yang akan terjadi pada (semua) makhluk-Nya. Sedangkan al-qadhâ’ adalah ketetapan Allâh Azza wa Jalla pada (semua) makhluk-Nya, dengan menciptakan, meniadakan (mematikan) dan merubah (keadaan mereka). Ini berarti takdir Allâh Azza wa Jalla mendahului (al-qadhâ).”[Syarhul ‘Aqîdatul Wâsithiyyah 2/188]

Sumber :  @Line Teladan Rasulullah

BERBICARA KETIKA WUDHU

Imam al-Buhuti Al-Hambali dalam Kasyaful Qana’ mengatakan: “Tidak dianjurkan untuk berbicara ketika berwudhu, bahkan dimakruhkan. Ini adalah pendapat sekelompok ulama. Maksud makruhnya berbicara di sini adalah berbicara yang isinya bukan dzikir kepada Allah, sebagaimana keterangan sekelompok ulama. Dan makna makruh dalam masalah ini adalah: kurang afdhal. Sementara itu, Ibnul Jauzi dan beberapa ulama lainnya, menganggap berbicara ketika wudhu sebagai perbuatan yang tidak dimakruhkan.”

Sebagai catatan penting, tidak ada satupun ulama yang mengharamkan berbicara ketika wudhu. Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah ditegaskan: “Tidak ada satupun ulama yang mengharamkan berbicara ketika wudhu. Karena itu, berbicara pada saat wudhu dibolehkan, hanya saja hukumnya makruh, kurang utama.”

Sumber :  @Line Teladan Rasulullah